.Negara
Sejak lahirnya hukum internasional, negara sudah diakui sebagai subjek hukum internasional. Bahkan, hingga sekarang pun masih ada anggapan bahwa hukum internasional pada hakikatnya adalah hukum antarnegara. Dalam suatu negara federal, pengemban hak dan kewajiban subjek
hukum internasional adalah pemerintah federal. Tetapi, adakalanya konstitusi federal memungkingkan negara bagian (state) mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas atau melakukan hal yang biasanya dilakukan oleh pemerintah federal. Sebagai contoh, dalam sejarah ketatanegaraan USSR (Union of Soviet Socialist Republics) dulu, Konstitusi USSR (dalam batas tertentu) memberi
kemungkinan kepada negara-negara bagian seperti Byelo-Rusia dan Ukraina untuk mengadakan hubungan luar negeri sendiri di samping USSR.
. Palang Merah Internasional
Palang Merah Internasional (PMI), yang berkedudukan di Jenewa, mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum internasional. Kedudukan Palang Merah Internasional sebagai subjek hukum internasional lahir karena sejarah masa lalu. Pada umumnya, kini Palang Merah Internasional diakui
sebagai organisasi internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional, walaupun dengan ruang lingkup terbatas. Dengan kata lain, Palang Merah Internasional bukan merupakan subjek hukum internasional dalam arti yang penuh.
Organisasi Internasional
Kedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional sekarang tidak diragukan lagi. Memang, pada mulanya belum ada kepastian mengenai hal tersebut. Organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa- Bangsa dan Organisasi Buruh Internasional (ILO) mempunyai hak dan
kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional. Berdasarkan kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa PBB dan organisasi internasional semacam itu merupakan subjek hukum internasional. Setidaknya, hal itu didasarkan pada hukum internasional khusus yang bersumberkan konvensi internasional.
Orang perseorangan (individu)
Orang perseorangan juga dapat dianggap sebagai subjek hukum internasional, meskipun dalam arti yang terbatas. Dalam perjanjian perdamaian Versailles tahun 1919, yang mengakhiri Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Perancis (bersama sekutunya masing-masing), sudah terdapat
pasal-pasal yang memungkinkan orang perseorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase Internasional. Dengan demikian, sejak itu sudah ditinggalkan dalil lama bahwa hanya negara yang bisa menjadi pihak di depan suatu peradilan internasional.
Dalam proses di muka Mahkamah Penjahat Perang yang diadakan di Nuremberg dan Tokyo, bekas para pemimpin perang Jerman dan Jepang dituntut sebagai orang perseorangan atau individu atas perbuatan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan terhadap
kemanusiaan, dan kejahatan perang atau pelanggaran terhadap hukum perang dan permufakatan jahat.
Pemberontak dan pihak dalam sengketa (belligerent)
Menurut hukum perang, dalam beberapa keadaan tertentu, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent). Akhir-akhir ini muncul perkembangan baru yang mirip dengan pengakuan terhadap status pihak yang bersengketa dalam perang. Namun, perkmbangan baru tersebut memiliki ciri lain yang khas. Perkembangan baru
tersebut adalah, adanya pengakuan terhadap gerakan pembebasan, seperti Gerakan Pembebasan Palestina (PLO). Pengakuan terhadap gerakan pembebasan sebagai subjek hukum internasional tersebut merupakan perwujudan dari suatu pandangan baru. Pandangan baru tersebut terutama dianut oleh negara-negara dunia ketiga. Mereka mendasarkan diri pada pemahaman, bahwa bangsa-bangsa
mempunyai hak asasi seperti: hak menentukan nasib sendiri; hak secara bebas memilih sistem ekonomi, politik, dan sosial mandiri; dan hak menguasai sumber kekayaan alam di wilayah yang didiaminya.
No comments:
Post a Comment