Pembuatan perjanjian, baik bilateral maupun multilateral, biasanya melalui beberapa tahapan. Berikut ini pembahasan tahapan-tahapan tersebut.
a. Tahap perundingan (negotiation)
Perundingan merupakan perjanjian tahap pertama antara pihak/negara tentang objek sesuatu yang sebelumnya belum pernah diadakan perjanjian. Oleh karena itu, diadakan penjajakan terlebih dahulu atau pembicaraan pendahuluan oleh masing-masing pihak yang berkepentingan. Menurut tata cara yang berlaku, suatu perundingan dapat diwakili dengan membawa surat kuasa penuh (full power). Surat kuasa penuh adalah surat dokumen yang dikeluarkan oleh penguasa yang berwenang dalam suatu negara, untuk menentukan seorang pejabat yang mewakili negara tersebut, baik mengadakan perundingan, menerima, maupun mengesahkan suatu naskah perjanjian, atau menyatakan persetujuan negara untuk terikat pada perjanjian tersebut. Perundingan dapat juga diwakili oleh kepala pemerintahan, menteri luar negeri, dan duta besar. Bagi mereka ini tidak diharuskan menunjukkan
surat kuasa penuh. Perundingan dalam perjanjian bilateral biasanya disebut talk, sedangkan perundingan dalam rangka perjanjian multilateral disebut diplomasi conference atau konferensi.
b. Tahap penandatanganan (signature) Lazimnya, penandatanganan dilakukan oleh para menteri luar
negeri atau kepala pemerintahan. Untuk perundingan yang bersifat multilateral, penandatanganan teks perjanjian sudah dianggap sah apabila dua per tiga suara peserta yang hadir memberikan suara, kecuali ditentukan lain. Namun, perjanjian belum dapat diberlakukan oleh masing-masing negara sebelum diratifikasi oleh masing-masing negaranya atau perjanjian akan berlaku setelah ditandatangani pada tanggal waktu diumumkan atau mulai berlaku pada tanggal yang ditentukan pada
perjanjian itu sendiri.
c. Tahap pengesahan (ratification)
Setelah perjanjian ditandatangani oleh wakil-wakil negara yang turut serta dalam perundingan, naskah perjanjian itu dibawa ke masing-masing negara untuk dipelajari, apakah isi/materi sudah memenuhi kehendak atau tidak atau apakah utusan yang telah diberi kuasa penuh tidak melampaui batas-batas wewenangnya. Jika isi/materi itu telah dianggap memenuhi atau sesuai dengan kepentingan nasional dari negara yang bersangkutan, maka negara dengan persetujaun Badan Perwakilan Rakyat mengesahkan atau menguatkan perjanjian yang yang telah ditandatangani oleh wakil-wakil yang berkuasa penuh itu. Tindakan pengesahan/penguatan disebut ratifikasi
Pada intinya, ratifikasi mengandung dua pengertian, yaitu sebagai berikut.
1) Persetujuan secara formal terhadap perjanjian yang mengeluarkan
kewajiban-kewajiban internasional setelah ditandatangani.
2) Persetujuan terhadap rencana perjanjian supaya menjadi suatu perjanjian yang berlaku bagi masing-masing negara peserta. Tujuan dilakukan ratifikasi adalah memberi kesempatan kepada negaranegara peserta guna mengadakan perjanjian serta pengamatan secara saksama, apakah negaranya dapat diikat oleh perjanjian itu atau tidak. Ratifikasi sebagai suatu tindakan dari negara untuk menguatkan atau mengesahkan isi perjanjian yang telah ditandatangani. Hal tersebut melalui
prosedur yang berlaku di masing-masing negara.
Prosedur ratifikasi ada dua tahap, yaitu sebagai berikut.
1) Penandatanganan naskah perjanjian oleh badan eksekutif, kemudian disampaikan kepada
legislatif untuk meminta persetujuan.
2) Selanjutnya oleh badan eksekutif dibuat piagam ratifikasi. Bagi perjanjian bilateral,
diadakan pertukaran piagam ratifikasi. Sedangkan perjanjian multilateral, piagam
ratifikasi diserahkan kepada pihak (negara) penyimpan yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan berdasarkan undang-undang. Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000.
Dalam Pasal 4 UU No. 24 Tahun 2000 itu disebutkan bahwa pembuatan pembuatan perjanjian internasional antara Pemerintah RI dengan negara lain dan organisasi internasional dilaksanakan berdasarkan kesepakatan dan dengan itikad baik. Selain itu, Pemerintah RI berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memerhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Dalam undang-undang itu ditegaskan pula bahwa pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan, perundingan, perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan. Kemudian diikuti dengan pengesahan perjanjian internasional, jika memang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut.
No comments:
Post a Comment