Setelah berakhirnya perundingan, pada teks perjanjian yang telah disetujui oleh wakil-wakil berkuasa penuh dibubuhkan tanda tangan atau mereka menandatangani protokol tersendiri sebagai prosedur penandatanganan. Protokol adalah persetujuan yang isinya melengkapi (suplemen) suatu konvensi. Akibat dari penandatanganan suatu perjanjian tergantung pada ada tidaknya persyaratan ratifikasi perjanjian tersebut. Apabila perjanjian atau traktat harus diratifikasi, penandatanganan hanya berarti utusan-utusan telah menyetujui teks perjanjian dan bersedia menerimanya serta akan meneruskan kepada pemerintah yang berhak untuk menerima atau menolak traktat tersebut. Jadi, mengikatnya perjanjian dinilai mengikat setelah diratifikasi oleh pihak yang berwenang.
Dalam perjanjian bilateral penandatanganan dilakukan oleh kedua wakil negara yang telah melakukan perundingan sehingga penerimaan hasil perundingan secara bulat-bulat penuh, mutlak sangat diperlukan oleh kedua belah pihak. Sebaliknya, dalam perjanjian multilateral penandatanganan naskah hasil perundingan dapat dilakukan jika disetujui 2/3 dari semua peserta yang hadir dalam perundingan, kecuali jika ditentukan lain.
b. Pengesahan (Ratifikasi)
Sesudah penandatanganan oleh wakil berkuasa penuh, para delegasi meneruskan naskah perjanjian tersebut kepada pemerintahnya untuk meminta persetujuan. Oleh karena itu, dibutuhkan penegasan oleh pemerintah yang bersangkutan setelah mereka mempelajari dan setelah diajukan kepada parlemen bilamana perlu. Penegasan tersebut dinamakan dengan ratifikasi atau pengesahan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian bahwa perjanjian itu akan mengikat tanpa harus diratifikasi terlebih dahulu. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa ratifikasi bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada negara-negara peserta guna mengadakan peninjauan serta pengamatan secara saksama terhadap isi perjanjian. Dengan demikian, negara dapat mengambil keputusan untuk mengikatkan diri atau tidak terhadap perjanjian tersebut. Dalam pasal 2 Konvensi Wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional ketika suatu negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Oleh karena itu, ratifikasi tidak berlaku surut, tetapi baru mengikat sejak tanggal penandatanganan ratifikasi. Ratifikasi biasanya dibuat oleh kepala negara yang berkepentingan kemudian diteruskan dengan pertukaran nota ratifikasi di antara negara-negara peserta perjanjian.
Ratifikasi perjanjian internasional dapat dibedakan sebagai berikut.
1) Ratifikasi oleh badan eksekutif yang biasa dilakukan oleh rajaraja absolut dan
pemerintahan otoriter.
2) Ratifikasi oleh badan legislatif yang jarang digunakan.
3) Ratifikasi campuran (DPR dan pemerintah) merupakan sistem
yang paling banyak digunakan karena peranan legislatif dan eksekutif sama-sama menentukan dalam proses ratifikasi suatu perjanjian. Di Indonesia, ratifikasi atau persetujuan terhadap perjanjian internasional dilakukan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Hal ini didasarkan pada bunyi pasal 11 ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut. ”Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”.
Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah Republik Indonesia dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut. Pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan dengan ”undang-undang” atau ”keputusan presiden”. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan persetujuan DPR. Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undangundang, apabila berkenaan dengan hal-hal berikut.
1) Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara.
2) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia.
3) Kedaulatan atau hak berdaulat bagi negara.
4) Pembentukan kaidah hukum baru.
5) Pinjaman dan hibah dari luar negeri.
No comments:
Post a Comment